Waktu aku
masih kelas 3 SMU. Hari itu aku ada janji dengan Sarno, sahabatku di sekolah.
Rencananya dia mau mengajakku jalan-jalan ke Mall “? sekedar menghilangkan
kepenatan setelah seminggu penuh digojlok latihan sepak bola habis-habisan.
Sejam lebih aku menunggu di warung depan gang rumah pamanku (aku tinggal
numpang di rumah paman, karena aku sekolah di kota yang jauh dari tempat
tinggal orangtuaku yang di desa). Jalan ke Mall “? dari rumah Sarno melewati
tempat tinggal pamanku itu, jadi janjinya aku disuruh menunggu di warung
pinggir jalan seperti biasa.
Aku mulai
gelisah, karena biasanya Sarno selalu tepat janji. Setelah uring-uringan
sebentar, akhirnya kuputuskan untuk ke rumah Sarno.
Keputusan
ini sebenarnya agak konyol, karena itu berarti aku berbalik arah dan menjauh
dari Mall ? tujuan kami, belum lagi kemungkinan bersimpang jalan dengan Sarno.
Tapi,
kegelisahanku mengalahkan pertimbangan itu. Akhirnya, setelah titip pesan pada
penjual di warung kalau-kalau Sarno datang, aku langsung menyetop angkot dan
menuju ke rumah Sarno.
Sesampai
di rumah Sarno, kulihat suasananya sepi. Padahal sore-sore begitu biasanya
anggota keluarga Sarno (Papa, Mama dan adik-adik Sarno, serta kadang
pembantunya) pada ngobrol di teras rumah atau main badminton di gang depan
rumah.
Setelah celingak-celinguk beberapa saat,
kulihat pembantu di rumah Sarno keluar dari pintu samping.
“Bi. Bibi. kok sepi. pada kemana yah? ” tanyaku. Aku
terbilang sering main ke rumah Sarno, begitu juga sebaliknya Sarno sering main
ke rumah pamanku, tempatku tinggal.
Jadi aku sudah kenal baik dengan semua penghuni rumah
Sarno, termasuk pembantu dan sopir papanya.
“Eh, mas Didik. pada pergi mas, pada ikut ndoro kakung
(juragan laki-laki). Yang ada di rumah cuman ndoro putri (juragan wanita)”
jawabnya dengan ramah.
“Oh. jadi Sarno ikut pergi juga ya Bi. Ya
sudah kalau begitu, lain waktu saja saya ke sini lagi” jawabku sambil mau
pergi.
“Lho, nggak mampir dulu mas Didik. Mbok ya minum-minum dulu,
biar capeknya hilang” “Makasih Bi, sudah sore ini” jawabku.
Baru aku mau beranjak pulang, pintu depan tiba-tiba
terbuka. Ternyata Tante Maya, mama Sarno yang membuka pintu.
“Bibi ini gimana sih, ada tamu kok nggak
disuruh masuk? ” , katanya sambil sedikit mendelik pada si pembantu.
“Udah ndoro, sudah saya suruh duduk dulu, tapi mas Didik
nggak mau” jawabnya.
“Eh, nak Didik. Kenapa di luaran aja. Ayo masuk dulu” kata
Tante Maya lagi.
“Makasih tante. Lain waktu aja saya main
lagi tante” jawabku. “Ah, kamu ini kayak sama orang lain saja. Ayo masuk
sebentar lah, udah datang jauh-jauh kok ya balik lagi. Ayo masuk, biar di
membuat minum sama bibi dulu” kata Tante Maya lagi sambil melambai ke arahku.
Aku tidak bisa lagi menolak, takut bikin Tante Maya
tersinggung. Kemudian aku melangkah masuk dan duduk di teras, sementara Tante
Maya masih berdiri di depan pintu.
“Nak Didik, duduk di dalem saja. Tante lagi kurang enak
badan, tante nanti nggak bisa nemenin kamu kalau duduk di luar” “Ya tante”
jawabku sambil masuk ke rumah dengan perasaan setengah sungkan.
“Sarno ikut Om pergi kemana sih tante? ” tanyaku basa-basi
setelah duduk di sofa di ruang tamu.
Ngentot Mama Teman Yang Ganas Kulum Peler
“Pada ke *kota X*, ke rumah kakek. Mendadak sih tadi pagi. Soalnya om-mu itu
kan jarang sekali libur. Sekali boleh cuti, langsung mau nengok kakek” “Ehm.
tante nggak ikut? ” “Besuk pagi rencananya tante nyusul. Soalnya hari ini tadi
tante nggak bisa ninggalin kantor, masih ada yang mesti diselesaiin” jawab
Tante Maya.
“Emangnya Sarno nggak ngasih tahu kamu kalau dia pergi? ”
“Nggak tante” jawabku sambil sedikit terheran-heran.
Tidak biasanya Tante Maya menyebutku dengan “kamu”.
Biasanya dia menyebutku dengan “nak Didik”.
“Kok bengong! ” Tanya Tante Maya bikin ku kaget. “Eh. anu.
eh. ” aku tergugup-gugup.
“Ona-anu, ona-anu. Emang anunya siapa? ” Tante Maya
meledek kegugupanku yang bikin ku makin jengah.
Untung Bibi segera datang membawa secangkir teh hangat,
sehingga rasa jengahku tidak berkepanjangan.
“Mas Didik, silakan tehnya dicicipin, keburu dingin nggak
enak” kata bibi sambil menghidangkan teh di depanku.
“Makasih Bi” jawabku pelan. “Itu tehnya diminum ya, tante
mau mandi dulu. bau” kata Tante Maya sambil tersenyum.
Setelah itu Tante Maya dan pembantunya masuk ke ruang
tengah. Sementara aku mulai membaca-baca koran yang ada di meja untuk.
Hampir setengah jam aku sendirian membaca koran di ruang
tamu, sampai akhirnya Tante Maya nampak keluar dari ruang tengah.
Dia memakai T-shirt warna putih dipadu dengan celana ketat
di bawah lutut.
Harus kuakui, meskipun umurnya sudah 40-an tetapi badannya
masih bagus. Kulitnya putih bersih, dan wajahnya meskipun sudah mulai ada kerut
di sana-sini, tapi masih jelas menampakkan sisa-sisa kecantikannya.
“Eh, ngapain kamu ngliatin tante kayak gitu. Heran ya liat
nenek-nenek” “Mati aku! ” kataku dalam hati.
Ternyata Tante Maya tahu sedang aku perhatikan. Aku hanya
bisa menunduk malu, mungkin wajahku saat itu sudah seperti udang rebus.
“Heh, malah bengong lagi” katanya lagi. Kali ini aku
sempat ngeliat Tante Maya tersenyum yang bikin ku sedikit lega tahu kalau dia
tidak marah
“Maaf
tante, nggak sengaja” jawabku sekenanya. “Mana ada nggak sengaja. Kalau
sebentar itu nggak sengaja, lha ini lama gitu melihat nya” kata Tante Maya
lagi.
Meskipun masih merasa malu, tetapi aku agak tenang karena
kata-kata Tante Maya sama sekali tidak menunjukkan sedang marah.
“Kata Sarno, kamu mau pertandingan sepakbola di sekolah
ya? ” Tanya Tante Maya.
“Eh, iya tante. Pertandingan antar SMU se-kota. Tapi masih
dua minggu lagi kok tante, sekarang-sekarang ini baru tahap penggojlokan” Aku
sudah mulai tenang kembali.
“Pelajaran kamu terganggu nggak? ” “Ya sebenarnya lumayan
menggangu tante, habisnya latihannya belakangan ini berat banget, soalnya
sekolah sengaja mendatangkan pelatih sepakbola beneran. Tapi, sekolah juga
ngasih dispensasi kok tante. Jadi kalau capeknya nggak ketulungan, kami dikasih
kesempatan untuk nggak ikut pelajaran. Kalau nggak begitu, nggak tahu lah
tante. Soalnya kalau badan udah pegel-pegel, ikut pelajaranpun nggak konsen”
“Kalau pegel-pegel kan tinggal dipijit saja” kata Tante Maya.
“Masalahnya siapa yang mau mijit tante? ” “Tante mau kok”
jawab Tante Maya tiba-tiba.
“Ah, tante ini becanda aja” kataku. “Eh, ini beneran.
Tante mau mijitin kalau memang kamu pegel-pegel. Kalau nggak percaya, sini
tante pijit” katanya lagi.
“Enggak ah tante. Ya, saya nggak berani
tante. Nggak sopan” jawabku sambil menunduk setelah ngeliat Tante Maya nampak
sungguh-sungguh dengan kata-katanya.
“Lho, kan tante sendiri yang nawarin, jadi nggak ada lagi
kata nggak sopan. Ayo sini tante pijit” katanya sambil memberi isyarat agar aku
duduk di sofa di sebelahnya.
Penyakit gugupku kambuh lagi. Aku hanya diam menunduk
sambil mempermainkan jari-jariku. “Ya udah, kalau kamu sungkan biar tante ke
situ” katanya sambil berjalan ke arahku.
Sebentar kemudian sambil berdiri di samping sofa, Tante
Maya memijat kedua belah pundakku.
Aku hanya terdiam, tidak tahu persis seperti apa
perasaanku saat itu. Setelah beberapa menit, Tante Maya menghentikan
pijitannya.
Kemudian dia masuk ke ruang tengah sambil memberi isyarat
padaku agar menunggu.
Aku tidak tahu persis apa yang dilakukan Tante Maya
setelah itu. Yang aku tahu, aku sempat ngeliat bibi pembantu keluar rumah
melalui pintu samping, yang tidak lama kemudian disusul Tante Maya yang keluar
lagi dari ruang tengah.
“Bibi tante suruh beli kue. Kue di rumah sudah habis”
katanya seolah menjawab pertanyaan yang tidak sempat kuucapkan.
“Ayo sini tante lanjutin mijitnya. Pindah ke sini aja biar
lebih enak” kali itu aku hanya menurut saja pindah ke sofa panjang seperti yang
disuruh Tante Maya.
Kemudian aku disuruh duduk menyamping dan Tante Maya duduk
di belakangku sambil mulai memijit lagi.
“Gimana, enak nggak dipijit tante? ” Tanya Tante Maya
sambil tangannya terus memijitku.
Aku hanya mengangguk pelan. “Biar lebih enak, kaosnya
dibuka aja” kata Tante Maya kemudian.
Aku diam saja. Bagaimana mungkin aku berani membuka
kaosku, apalagi perasaanku saat itu sudah tidak karuan.
“Ya sudah. Kalau gitu, biar tante bantu bukain” katanya
sambil menaikkan bagian bawah kaosku.
Seperti kena sihir aku menurut saja dan mengangkat kedua
tanganku saat Tante Maya membuka kaosku.
Setelah itu Tante Maya kembali memijitku. Sekarang tidak
lagi hanya pundakku, tapi mulai memijit punggung dan kadang pinggangku.
Perasaanku kembali tidak karuan, bukan hanya pijitannya
kini, tapi sepasang benda empuk sering menyentuh bahkan kadang menekan
punggungku.
Meski seumur-umur aku belum pernah menyentuh toket , tapi
aku bisa tahu bahwa benda empuk yang menekan punggungku itu adalah sepasang
toket Tante Maya.
Cerita Sex Ngentot Mama Teman Yang Ganas Kulum Peler
Beberapa lama aku berada dalam situasi antara merasa nyaman, malu dan gugup
sekaligus, sampai akhirnya aku merasakan ada benda halus menelusup bagian depan
celanaku.
Aku terbelalak begitu mengetahui yang menelusup itu adalah
tangan Tante Maya. “Tante. ” kataku lirih tanpa aku sendiri tahu maksud kataku
itu
Tante Maya seperti tidak mempedulikanku, dia malah sudah
bergeser ke sampingku dan mulai membuka kancing serta retsluiting celanaku.
Sementara itu aku hanya terdiam tanpa tahu harus berbuat
apa. Sampai akhirnya aku mulai bisa ngeliat dan merasakan Tante Maya mengelus
kontol ku dari luar CD-ku.
Aku merasakan sensasi yang luar biasa. Sesuatu yang baru
pertama kali itu aku rasakan.
Belum lagi aku sadar sepenuhnya apa yang terjadi, aku
mendapati kontol ku sudah menyembul keluar dan Tante Maya sudah menggenggamnya
sambil sesekali membelai-belainya.
Setelah itu aku lebih sering memejamkan mata
sambil sekali-kali melirik ke arah kontol ku yang sudah jadi mainan Tante Maya.
Tak berapa lama kemudian aku merasakan kenikmatan yang
jauh lebih mencengangkan. Kepala kontol ku seperti masuk ke satu lubang yang
hangat.
Ketika aku melirik lagi, kudapati kepala kontol ku sudah
masuk ke mulut Tante Maya, sementara tangannya naik turun mengocok batang
kontol ku.
Aku hanya bisa terpejam sambil mendesis-desis keenakan.
Beberapa menit kemudian aku merasakan seluruh tubuhku mulai mengejang.
Aku merasakan Tante Maya melepaskan kontol ku dari mulutnya,
tapi mempercepat kocokan pada batang kontol ku.
“Ssh. creet. creett. ” Sambil mendesis menikmati sensasi
rasa yang luar biasa aku merasakan cairan hangat menyemprot sampai ke dadaku,
cairan peju ku sendiri.
“Ah, dasar anak muda, baru segitu aja udah keluar” Tante
Maya berbisik di dekat telingaku.
Aku hanya menatap kosong ke wajah Tante Maya, yang aku
tahu tangannya tidak berhenti mengelus-elus kontol ku.
“Tapi ini juga kelebihan anak muda. Udah keluarpun, masih
kenceng begini” bisik Tante Maya lagi.
Setelah itu aku lihat Tante Maya melepas T-Shirtnya,
kemudian berturut-turut, BH, celana dan CD-nya.
Aku terus terbelalak ngeliat pemandangan seperti itu. download bokep gratis Dan Tante Maya seperti tidak peduli kemudian meluruskan posisi ku, kemudian dia mengangkang duduk di atasku.
Selanjutnya aku merasakan kontol ku digenggam lagi, kali
ini di arahkan ke selangkangan Tante Maya.
“Slep. Aah. ” suara kontol ku menembus memek Tante Maya
diiringi desahan panjangnya.
Kemudian Tante Maya bergerak turun naik dengan cepat
sambil mendesah-desah. Mulutnya terkadang menciumi dada, leher dan bibirku.
Ada beberapa menit Tante Maya bergerak naik turun, sampai
akhirnya dia mempercepat gerakannya dan mulai menjerit-jerit kecil dengan
liarnya.
Akupun kembali merasakan kenikmatan yang luar biasa. Tak
lama kemudian. “Aah. ” Tante Maya melenguh panjang, bersamaan dengan teriakanku
yang kembali merasakan puncak yang kedua kali.
Setelah itu Tante Maya terkulai, merebahkan kepalanya di
dadaku sambil memeluk pundakku.
“Terima kasih Dik. ” bisiknya lirih diteruskan kecupan ke
bibirku. Sejak kejadian itu, aku mengalami syok.
Rasa takut dan bersalah mulai menghantui aku. Sulit
membayangkan seandainya Sarno mengetahui kejadian itu.
Perubahan besar mulai terjadi pada diriku, aku mulai
sering menyendiri dan melamun.
namun selain rasa takut dan bersalah, ada perasaan lain
yang menghinggapi aku.
Aku sering terbayang-bayang Tante Maya dia telanjang bulat
di depanku, terutama waktu malam hari, sehingga aku tiap malam susah tidur.
Selain seperti ada dorongan keinginan untuk mengulangi
lagi apa yang telah Tante Maya lakukan padaku.
Perubahan pada diriku ternyata dirasakan juga oleh paman
dan bibiku dan juga teman-temanku, termasuk Sarno.
Tentu saja aku tidak menceritakan kejadian yang
sebenarnya. Situasi seperti itu berlangsung sampai seminggu lebih yang bikin
kesehatanku mulai drop akibat tiap malam susah tidur, dan paginya tetap
kupaksakan masuk sekolah.
Akibat dari itu pula, akhirnya aku memilih mundur dari tim
sepakbola sekolahku, karena kondisiku tidak memungkinkan lagi untuk mengikuti
latihan-latihan berat.
Kira-kira seminggu setelah kejadian itu, aku berjalan
sendirian di trotoar sepulang sekolah.
Aku menuju halte yang jaraknya sekitar 300
meter dari sekolahku. Sebenarnya persis di depan sekolahku juga ada halte untuk
bus kota, tetapi aku memilih halte yang lebih sepi agar tidak perlu menunggu
bus bareng teman-teman sekolahku.
Saat asyik berjalan sambil menunduk, aku dikejutkan mobil
yang tiba-tiba merapat dan berhenti agak di depanku.
Lebih terkejut lagi saat tahu itu mobil itu mobil papanya
Sarno. Setelah memperhatikan isi dalam mobil, jantungku berdesir.
Tante Maya yang mengendari mobil itu, dan sendirian. “Dik,
cepetan masuk, ntar keburu ketahuan yang lain” panggil Tante Maya sambil
membuka pintu depan sebelah kiri.
Sementara aku hanya berdiri tanpa bereaksi apa-apa.
“Cepetan sini! ” kali ini suara Tante Maya lebih keras dan wajahnya menyiratkan
kecemasan.
“I. Iya. tante” akhirnya aku menuruti panggilan Tante
Maya, dan bergegas masuk mobil.
“Nah, gitu. Keburu ketahuan temen-temenmu, repot” kata
Tante Maya sambil langsung menjalankan mobilnya.
Di dalam mobil aku hanya diam saja, meskipun aku bisa sedikit ngeliat Tante
Maya beberapa kali menengok padaku.
“Tumben kamu nggak bareng Sarno” Tanya Tante Maya tiba-tiba. “Enn. Enggak
tante. Saya lagi pengin sendirian saja. Tante nggak sekalian jemput Sarno? ”
aku sudah mulai menguasai diriku.
“Kan, emang Sarno nggak pernah dijemput” jawab Tante Maya. “Eh, iya ya” jawabku
seperti orang bloon.
Setelah itu kami lebih banyak diam. Tante Maya mengemudikan mobilnya dengan
kecepatan sedang.
Setelah sampai di sebuah komplek pertokoan Tante Maya melambatkan mobilnya
sambil ngeliat -lihat mungkin mencari tempat parkir yang kosong.
Setelah memarkirkan mobilnya, yang sepertinya mencari tempat yang agak jauh
dari pusat pertokoan, Tante Maya mengajak aku turun.
Setelah turun, Tante Maya langsung menyetop taksi yang kebetulan sedang
melintas. keliatan dia bercakap-cakap dengan sopir taksi sebentar, kemudian
langsung memanggilku supaya ikut naik taksi.
Setelah masuk taksi, Tante Maya memberi isyarat padaku yang terbengong-bengong
supaya diam, kemudian dia menyandarkan kepalanya pada jok taksi dan memejamkan
matanya, entah kecapaian atau apa.
Kira-kira 20 menit kemudian taksi memasuki pelataran sebuah hotel di pinggiran
kota.
“Dik, kamu masuk duluan, kamu langsung aja. Ada kamar nganggur yang habis
dipakai tamu kantor tante. Nanti tante nyusul” kata Tante Maya memberikan kunci
kamar hotel sambil setengah mendorongku agar keluar.
Kemudian aku masuk ke hotel, aku memilih langsung mencari
petunjuk yang ada di hotel itu daripada tanya ke resepsionis.
Dan memang tidak sulit untuk mencari kamar dengan nomor
seperti yang tertera di kunci.
Singkat cerita aku sudah masuk ke kamar, tetapi hanya
duduk-duduk saja di situ.
Kira-kira 15 menit kemudian terdengar ketukan di pintu
kamar, ternyata Tante Maya.
Dia langsung masuk dan duduk di pinggir ranjang. “Sarno
bilang kamu keluar dari tim sepakbola ya? ! ” tanyanya tanpa ba-bi-bu dengan
nada agak tinggi.
“I. iya tante” jawabku pelan. “Kamu juga nggak pernah lagi
kumpul sama temen-temen kamu, nggak pernah main lagi sama Sarno” Tante Maya
menyemprotku yang hanya bisa diam tertunduk.
“Kamu tahu, itu bahaya. Orang-orang dan keluargaku bisa
tahu apa yang sudah terjadi. ” kata-kata Tante Maya terputus dan terdengar
mulai sedikit sesenggukan.
“Tapi. saya nggak pernah ngasih tahu siapa-siapa” kataku.
“Memang kamu belum ngasih tahu, tapi kalau ditanyain terus-terusan bisa-bisa
kamu cerita juga” katanya lagi sambil sesenggukan.
“Apa yang terjadi dengan keluarga tante jika semuanya
tahu! ” “Tante memang salah, tante yang bikin kamu jadi begitu” kata Tante
Maya, kali ini agak lirih sambil menahan tangisnya.
“Tapi kalau kamu merasakan seperti yang tante rasakan”
terputus lagi. “Merasakan apa tante? ” Akhirnya Tante Maya cerita panjang lebar
tentang rumah tangganya.
Tentang suaminya yang sibuk mengejar karir,
sehingga hampir tiap hari pulang malam, dan jarang libur.
Tentang kehidupan seksualnya sebagai akibat dari kesibukan
suaminya, serta beratnya menahan hasrat biologisnya akibat dari semua itu.
“Kalau kamu mau marah, marahlah. Entah kenapa, tante nggak
sanggup lagi menahan dorongan birahi waktu kamu ke rumah minggu kemarin.
Terserah kamu mau menganggap tante kayak apa, yang penting kamu sudah tahu
masalah tante. Sekarang kalau mau pulang, pulanglah, tante yang ngongkosin
taksinya” kata Tante Maya lirih sambil membuka tasnya, mungkin mau mengeluarkan
dompet.
“Nggak. nggak usah tante. ” aku mencegah. “Saya belum mau
pulang, saya nggak mau membiarkan tante dalam kesedihan” Entah pengaruh apa
yang bisa bikin ku seketika bisa bersikap gagah seperti itu.
Aku hampiri Tante Maya, aku elus-elus kepalanya. Hilang
sudah perasaan sungkanku padanya.
Tante Maya kemudian memeluk pinggangku dan membenamkan
kepalanya dalam pelukanku. Setelah beberapa lama, aku duduk di samping Tante
Maya.
Kuusap-usap dan sibakkan rambutnya. Kusap pipinya dari
airmata yang masih mengalir. Pelahan kucium keningnya.
Kemudian, entah siapa yang mulai tiba-tiba bibir kami
sudah saling bertemu. Ternyata, kalau tidak sedang merasa sungkan atau takut,
aku cukup lancar juga mengikuti naluri kelelakianku.
Cukup lama kami berciuman bibir, dan makin lama makin
liar. Aku mulai mengusap punggung Tante Maya yang masih memakai baju lengkap,
dan kadang turun untuk meremas pantatnya.
Tante Maya pun melakukan hal yang sama padaku. Tante Maya
sepertinya kurang puas bercumbu dengan pakaian lengkap.
Tangannya mulai membuka kancing baju seragam SMU-ku,
kemudian dilepasnya berikut kaos dalam ku.
Kemudian dia melepaskan pelukanku dan berdiri. Pelan-pelan
dia membuka pakain luarnya, sampai hanya memakai CD dan BH.
Meskipun aku sudah ngeliat Tante Maya telanjang, tapi
pemandangan yang sekarang ada di depanku jauh bikin nafsuku bergejolak,
meskipun masih tertutup CD dan BH.
Aku langsung berdiri, kupeluk dan kudorong ke arah
dinding, sampai kepala Tante Maya membentur dinding, meski tidak begitu keras.
“Ah, pelan-pelan doong” kata Tante Maya manja diiringi
desahannya desahannya. Aku semakin liar saja.
Kupagut lagi bibir Tante Maya, sambil tanganku
meremas-remas toket nya yang masih memakai BH.
Tante Maya tidak mau kalah, bahkan tangannya sudah mulai melepaskan
melorotkan celana luar dan dalamku.
Kemudian, diteruskannya dengan menginjaknya agar bisa
melorot sempurna. Aku bantu upaya Tante Maya itu dengan mengangkat kakiku
bergantian, sehingga akhirnya aku sudah telanjang bulat.
Setelah itu Tante Maya membantuku membuka pengait BH-nya
yang ada di belakang.
Rupanya dia tahu aku kesulitan untuk membuka BH-nya.
Sekarang aku leluasa meremas-remas kedua toket Tante Maya yang cukup besar itu,
sedang Tante Maya mulai mengelus dan kadang mengocok kontol ku yang sudah
sangat tegang.
Kemudian tante setengah menjambak Tante Maya mendorong
kepalaku di arahkan ke toket nya yang sebelah kiri.
Kini puting susu itu sudah ada di dalam mulutku,
kuisap-isap dan jilati mengikuti naluriku.
“Aahh. ouhgh. ” desahan Tante Maya makin keras sambil
tangannya tak berhenti mempermainkan kontol ku.
Beberapa kali aku isap puting susu Tante Maya bergantian,
mengikuti sebelah mana yang dia maui.
Setelah puas toket nya aku mainkan, Tante Maya mendorong
tubuhku pelan ke belakang.
Kemudian dia berputar, berjalan mundur sambil menarikku ke
arah ranjang. Sampai di pinggir ranjang, Tante Maya sengaja menjatuhkan dirinya
sehingga sekarang dia telentang dengan aku menindih di atasnya, sementara
kakinya dan kakiku masih menginjak lantai.
Setelah itu, dia berusaha melorotkan CD-nya, yang kemudian
aku bantu sehinggap Tante Maya kini untuk kedua kalinya telanjang bulat di
depanku.
Usai melepas CD-nya aku masih berdiri memelototi
pemandangan di depanku. Tante Maya yang telentang dengan nafas memburu dan mata
agak saya menatapku.
Gundukan di selangkangannya yang ditumbuhi
bulu tidak begitu lebat nampak benar menantang, seperti menyembul didukung oleh
kakinya yang masih menjuntai ke lantai.
Bibir memek nya nampak mengkilap terkena cairan dari
dalamnya. (Waktu itu aku belum bisa menilai dan membanding-bandingkan toket ,
mana yang kencang, bagus dan sebagainya. Paling hanya besar-kecilnya saja yang
bisa aku perhatikan). “Sini sayaangg. ” panggil Tante Maya yang ngeliat aku
berdiri memandangi tiap jengkal tubuhnya.
Aku menghampirinya, menindih dan mencoba memasukkan kontol
ku ke lubang memek nya.
Tapi, Tante Maya menahanku. Nampak dia menggeleng sambil
memandangku. Kemudian tiba-tiba kepalaku didorong kebawah.
Terus didorong cukup kuat sampai mulutku persis berada di
depan lubang memek nya.
Setelah itu Tante Maya berusaha agar mulutku menempel ke
memek nya. Awalnya aku ikuti, tapi setelah mencium bau yang aneh dan sangat
asing bagiku, aku agak melawan.
Mengetahui aku tidak mau mengikuti kemauannya, dia bangun.
Ditariknya kedua tanganku agar aku naik ke ranjang, ditelentangkannya tubuhku.
Sempat aku ngeliat bibirnya tersenyum, sebelum di
mengangkang tepat di atas mulutku.
“Bleepp. ” aku agak gelagapan saat memek Tante Maya ditempel
dan ditekankan di mulutku.
Tante Maya memberi isyarat agar aku tidak melawan,
kemudian pelan-pelan memek nya digesek-gesekkan ke mulutku, sambil mulutnya
mendesis-desis tidak karuan.
Aku yang awalnya rada-rada jijik dengan cairan dari memek
Tante Maya, sudah mulai familiar dan bisa menikmatinya.
Bahkan, secara naluriah, kemudian ku keluarkan lidahku
sehingga masuk ke lubang memek Tante Maya.
“Ooh. sh. pinter kamu sayang. oh. ” gerakan Tante Maya
makin cepat sambil meracau.
Tiba-tiba, dia memutar badannya. Kagetku hanya sejenak,
berganti kenikmatan yang luar biasa setelah kontol ku masuk ke mulut Tante
Maya.
Aku merasakan kepala kontol ku dikulum dan dijilatinya,
sambil tangannya mengocok batang kontol ku.
Sementara itu, memek nya masih menempel dimulutku,
meskipun gesekannya sudah mulai berkurang.
Sambil menikmati aku mengelus kedua pantat Tante Maya yang
persis berada di depan mataku.
Setelah puas dengan permainan seperti itu, Tante Maya
mulai berputar dan bergeser.
Masih mengangkang, tapi tidak lagi di atas mulutku, kali
ini tepat di atas ujung kontol ku yang tegak.
“Sleep. bles. oh” kontol ku menancap sempurna di dalam
memek Tante Maya diikuti desahan panjangnya, yang malah lebih mirip dengan
lolongan.
Tante Maya bergerak naik turun sambil mulutnya meracau
tidak karuan. Tidak seperti yang pertama waktu di rumah Tante Maya, kali ini
aku tidak pasif.
Aku meremas kedua toket Tante Maya yang semakin menambah
tidak karuan racauannya.
Rupanya, aksi Tante Maya itu tidak lama, nonton bokep online karena kulihat tubuhnya mulai mengejang.
Setengah menyentak dia luruskan kakinya dan menjatuhkan
badannya ke badanku. “Ooh. Aah. ” Tante Maya ambruk, terkulai lemas setelah
mencapai puncak orgasme.
Beberapa saat dia menikmati kepuasannya sambil terkulai di
atasku, sampai kemudian dia berguling ke samping tanpa melepas memek nya dari
kontol ku, dan menarik tubuhku agar gantian menindihnya.
Sekaraang gantian aku mendorong keluar-masuk kontol ku
dari posisi atas. Tante Maya terus membelai rambut dan wajahku, tanpa berhenti
tersenyum.
Beberapa waktu kemudian aku mempercepat sodokanku, karena
terasa ada bendungan yang mau pecah.
“Tante. Ooh. ” gantian aku yang melenguk panjang sambil
membenamkan kontol ku dalam-dalam.
Tante Maya menarik tubuhku menempel ketat ke dadanya, saat
aku mencapai puncak.
Setelah sama-sama mencapai puncak kenikmatan seks, aku dan
Tante Maya terus ngobrol sambil tetap berpelukan yang diselingi dengan ciuman
dan sedikit kobelan.
Waktu ngobrol itu pula Tante Maya banyak memberi tahu
tentang seks, terutama bagian-bagian sensitif wanita serta bagaimana
meng-eksplor bagian-bagian sensitif itu.
Setelah jam 4 sore, Tante Maya mengajak pulang. Aku
sebenarnya belum mau pulang, aku mau bersetubuh sekali lagi.
Tapi Tante Maya berkeras menolak. “Tante janji, kamu masih
terus bisa menikmati tubuh tante ini. Tapi ingat, kamu harus kembali bersikap
seperti biasa, terutama pada Sarno. Dan kamu harus kembali ke tim sepakbola.
Janji? ” “He-em” aku menganggukkan kepala.
“Ingat, kalau kamu tepat janji, tante juga tepat janji.
Tapi kalau kamu ingkar janji, lupakan semuanya. Oke? ” Aku sekali mengangguk.
Sebelum aku dan Tante Maya memakai pakaian masing-masing,
aku sempatkan mencium bibir Tante Maya dan tak lupa bibir bawahnya.
Setelah selesai berpakaian, Tante Maya memberiku ongkos
taksi dan menyuruhku pulang duluan.
Sejak itu perasaanku mulai ringan kembali, dan aku sudah
normal kembali. Aku juga bergabung kembali ke tim sepakbola sekolahku, yang
untungnya masih diterima.
Dari sepakbola itulah yang kemudian memuluskan langkahku
mencari kerja kelak. Dan Tante Maya menepati janjinya.
Dia benar-benar telah menjadi pasangan kencanku, dan guru
sex-ku sekaligus. Paling sedikit seminggu sekali kami melakukannya berpindah-pindah
tempat, dari hotel satu ke hotel yang lain, bahkan kadang-kadang keluar kota.
Tentu saja kami melakukannya memakai strategi yang matang
dan hati-hati, agar tidak diketahui orang lain, terutama keluarga Tante Maya.
Sejak itu pula aku mengalami perubahan yang cukup drastis,
terutama dalam pergaulanku dengan teman-teman cewek.
Aku yang awalnya dikenal pemalu dan jarang bergaul dengan
teman cewek, mulai dikenal sebagai play boy.
Sampai lulus SMU, beberapa cewek baik dari sekolahku
maupun dari sekolah lain sempat aku pacari, dan beberapa di antaranya berhasil
kuajak ke tempat tidur.
Begitulah kisah awalku dengan Tante Maya,
yang akhirnya merubah secara drastis perjalanan hidupku ke depannya.
Sampai saat ini, aku masih berhubungan dengan Tante Maya,
meskipun paling-paling sebulan atau dua bulan sekali.
Meskipun dari segi daya tarik seksual Tante Maya sudah
jauh menurun, tetapi aku tidak mau melupakannya begitu saja.
Apalagi, Tante Maya tidak pernah berhubungan dengan pria lain,
karena dianggapnya resikonya terlalu besar.
Begitulah, Tante Maya yang terjepit antara hasrat seksual
menggebu yang tak terpenuhi dengan status sosial yang harus selalu dijaga
0 komentar:
Posting Komentar