Perkenalkan namaku Angel. Aku adalah seorang wanita berusia 26
tahun yang berstatus janda beranak 1. Dalam keseharianku. Aku selalu mengenakan
baju kurung longgar dengan bawahan rok semata kaki. Kedua kakiku senantiasa
terbalut oleh kaus kaki.
Jantungku berdetak keras, memompa darahku
cepat sekali. Wah, celaka… pikirku.. Aku jelas tidak mampu untuk membayar hutangku.
Bahkan untuk mengangsur pun aku tidak mampu. Kini hutang itu telah ditagih.
Ohhhh… betapa malang nasibku, jeritku di hati.
“Mhhhh…. mmaaf pak, saya belum mampu
membayarnya…” jawabku terbata-bata.
“Kebutuhan saya banyak sekali, dan uang gaji saya saja tidak cukup”
Tak terasa, air mataku mulai meleleh.
“Iya, saya tau… tapi masalahnya, kantor ini
juga butuh biaya. Kan sudah aku bilang, kalau biro ini lagi seret. Klien kita
semakin sedikit?” suara Pak Huang mulai meninggi.
Air mataku pun semakin deras mengalir. Tak sadar aku mulai sesenggukan.
Pak Huang masih nampak cuek, sambil sesekali
melirikku. Sorot matanya menunjukkan kelicikan.
“Hmmmmm… apapun kamu harus membayar hutang kamu…. Atau kita selesaikan saja
secara hukum??” ancam Pak Huang.
Aku semakin panik dengan ancaman itu…
“Ssaya mohon jangan pak. Saya pasti akan
bayar. Saya masih punya anak pak….” kataku tersedu-sedu.
“Trus, kamu mau bayar pake apa? Kamu bilang nggak punya uang?”
“Beri saya waktu barang satu minggu, saya bisa usahakan” jawabku putus asa.
Satu minggu pun aku tidak yakin akan mendapatkan uang sejumlah itu.
“Wah… wah… aku meragukan kamu bakalan sanggup membayar. Paling hanya menunda
waktu. Gak ada gunanya. Saya nggak akan kasi keringanan lagi”
“Sssayaaa mohon pakkk” aku berusaha menahan
tangisku agar tak semakin keras.
“Mhhhhh… baik… baik…. Aku bisa kasih kamu solusi. Supaya kamu bisa lunasin
utang kamu”
Aku agak lega mendengar ucapan Pak Huang. Aku memandanginya dengan pandangan
bertanya.
“Mhhhhh… boleh tau apa solusinya pak?” ungkapku.
“Kamu bisa bayar hutangmu dengan tubuh molek kamu itu” kata Pak Huang sambil
melirik padaku dengan sorot mata birahi.
Bagai disambar petir, aku terkejut mendengar
ucapan Pak Huang. Aku kehabisan kata-kata.
“Nggak, nggak mau” jawabku sambil menangis.
“Kamu bisa apa….? Kalo kamu nggak bayar sekarang, ya diselesaikan lewat hukum.
Aku akan laporkan kamu ke polisi” ancam Pak Huang.
Dia sungguh lihai mempermainkan perasaanku.
Aku merasa semakin putus asa. Aku hanya bisa menangis. Tangisku yang tertahan
pun mulai keluar juga. Namun Pak Huang tetap tak peduli. Aku hanya tertunduk
sambil menangis.
“Hehehe… lagian, kamu kan sudah lama jadi
janda. Masa sih, ga kangen sama kontol? Kamu puas, hutangmu lunas… Tawaran
menarik kan? goda Pak Huang.
“Kamu tinggal ngangkang aja, biar memekmu
disodok pake kontol-kontol lelaki birahi. Dengan tubuh kaya kamu, gak sulit kok
kamu dapet duit banyak. heheheh…. Apalagi yang wanita janda kaya kamu, pasti
banyak peminatnya.”
Tanpa ku sadar, Pak Huang telah berdiri di sampingku, nonton bokep online dan tanpa basa-basi, ia pun menarik tanganku hingga aku berdiri. Aku ingin menolak dan lari, namun aku sadar bahwa aku tidak lagi punya kuasa. Bahkan pada diriku sendiri. Kini aku telah dikuasai oleh Pak Huang. Aku hanya pasrah ketika ia menarik tubuhku hingga berdiri.
Dengan penuh birahi, Pak Huang menariku ke
dalam pelukannya. Dengan rakus Pak Huang melumat mulutku dengan mulutnya.
Tangannya menjamahi dua payudaraku yang masih. Kurasakan perut buncit Pak Huang
menekan tubuhku.
“Mhhhh….. mphhhhhh….” aku berusaha meronta, menghindari ciuman Pak Huang.
Namun mulutnya terus mengejar mulutku. Dengan
kasar dibaliknya tubuhku hingga aku membelakanginya. Lalu ditekannya tubuhku
hingga perutku menempel di tepi mejanya. Tanganku berpegangan pada meja agar
menopang badanku. Kini aku dalam posisi agak membungkuk, dengan pantat yang
membusung kearah Pak Huang. Kini pantatku begitu bebas untuk dijamahinya.
Dengan kasar ia meremas pantatku. Aku merasakan ada sesuatu yang mengganjal di
pantatku.
Ohhh, ternyata itu adalah penis Pak Huang yang
sudah menegang dan mengeras.
Sambil menggesek-gesekkan penisnya di pantatku, salah satu tangan Pak Huang
juga meremasi bongkahan pantatku yang montok dan padat itu, sedang tangan yang
lain kini telah mencengkram salah satu payudaraku yang masih tertutup
pakaianku. Aku merasakan bahwa tangan Pak Huang telah mulai menyusup masuk ke
balik pakaianku yang menutup dadaku. Ia meremasi payudaraku dari balik baju
kurungku.
“Mhhhh…. ahhhh…. ohhhhh….” jeritan-jeritan
kecil terlontar dari mulutku ketika Pak Huang menyentil ujung payudaraku dengan
keras, sementara penisnya yang masih berada di dalam celana itu menekan
pantatku ke depan.
Tangan yang satunya kini telah meremas-remas
pangkal pahaku. Mulut Pak Huang dengan rakus menggigit leherku yang masih
tertutup pakaian warna krem itu, hingga nampak basah bekas gigitan. Terkadang
menengadah ke atas, setiap kali Pak Huang menyodokkan penisnya ke pantatku.
Kini tangan Pak Huang mulai menarik ritsleting
baju kurungku yang ada di punggungku. Dengan trampil tangannya menurunkan baju
bagian atas baju kurung itu. Kini pundak dan punggung putihku pun terbuka. Tak
lama kemudian, aku merasa bahwa pengait braku di bagian belakang telah terbuka.
Secara umum, bagian atas tubuhku telah setengah
terbuka, dan dua payudaraku yang tak seberapa besar itu menggelantung di atas
meja. Dengan rakus Pak Huang menciumi dan menjilati punggungku, hingga basah
oleh liurnya. Kedua tangan Pak Huang pun tak henti-hentinya meremas dan memilin
dua putting mungilku yang berwarna coklat muda itu.
“Ahhhhhhh….. udahhh… lama aku menunggu saat
ini…” bisik Pak Huang di telingaku
“Mhhhh… ohhhhh…. mhhhhhh…..” desahku.
Walaupun aku telah lama tidak menikmati
sentuhan pria. Sungguh, aku tetap tidak bisa menikmati perlakuan Pak Huang itu.
Aku justru merasa terhina, karena penis seorang pria yang bukan suamiku kini
sedang menggesek-gesek pantatku yang masih tertutup rok itu. Selama ini
hanyalah mantan suamiku yang pernah menikmati bibirku, menghisap dua putingku
yang sedang mengeras, dan menyodokkan penisnya di lubang surgaku yang basah.
Saat ini, seorang pria yang bukan suamiku
dengan bebas dapat menikmati pantatku, dan tangannya dengan bebas memilin dan
meremas puting payudaraku. Ohhh, betapa malang nasibku..
Aku dengar suara ritsleting celana Pak Huang.
Tak lama kemudian Pak Huang pun membalikkan tubuhku hingga posisiku berhadapan
dengannya. Terlihatlah pemandangan yang membuatku takjub. Penis Pak Huang yang
menjulang sepanjang 15 cm.
Jauh lebih besar daripada milik mantan suamiku.
Dengan rakus Pak Huang pun menghisap putting payudara kiriku, sementara tangan
satunya memilin dan meremas payudaraku yang kanan. Terasa gigitannya pada
payudaraku, yang kemudian disentakannya hingga aku menjerit.
“Aahhhhhhhhh”.
Pantatku kini bersandar pada tepi meja, dengan posisi tangan menekan meja di
belakang tubuhku.
“Mhhh… ahhhhh….” jeritan dan rintihan yang keluar dari mulutku semakin membakar
birahi Pak Huang.
Pak Huang pun kemudian mengangkat rokku
keatas. Nampaklah dua kaki dan paha mulusku telanjang, dan secarik kain celana
dalam di pangkalnya. Salah satu tangan Pak Huang memegangi ujung rok ku agar
tak turun, sementara tangan lain melebarkan dua pahaku, hingga pangkalnya yang
masih terutup celana dalam itu semakin menganga.
Kurasakan benda keras mulai menyusuri belahan
kemaluanku. Salah satu tangan Pak Huang menuntun benda keras itu agar
menggesek-gesek dengan belahan vaginaku yang tertutup celana dalam itu.
“Ohhhhh….” walau aku berusaha mengingkarinya,
tak dapat kupungkiri bahwa sensasi gatal di vaginaku mulai kurasakan.
Aku pun mulai merasa lemas dan birahi. Aku
berada dalam dilema. Aku dipaksa untuk menikmati perlakuan Pak Huang, walaupun
sesungguhnya aku enggan. Tangan Pak Huang pun mulai mencari-cari ritsleting
rokku, dan segera melepasnya. Kini bagian bawahku telah benar-benar telanjang,
hanya celana dalam putihku yang masih melindungi lubang kehormatanku.
Payudaraku telah menggelantung indah dengan bekas gigitan dan basah air liur
Pak Huang.
Dengan kasar Pak Huang menarik hingga aku terjatuh
dalam keadaan bersimpuh. Dihadapanku kini sebatang penis Pak Huang yang tegang
dan mengeras itu. Sambil mengarahkan kepalaku dengan tangannya keaarah
penisnya, Pak Huang mengatakan
“Ayo… kulum kontol bapak…!!!”
Dengan perasaan jijik, akupun memenuhi
permintaannya. Sementara payudaraku tengah bebas menggelantung, dan bagian
bawahku telah telanjang, hanya celana dalam yang tersisa.
“Mmphhhhh… mhhhhh…” lenguhku saat penis Pak
Huang menerobos mulutku.
Pak Huang menyuruhku menjilati ujung penisnya
hingga lubang kontolnya. Uhhhh…. aku merasa ingin muntah. Mulutku pun penuh
oleh penisnya. Tak satu jengkalpun bagian penisnya yang tidak berkesempatan
menikmati pelayanan bibir dan lidahku. Bahkan testisnya pun turut aku jilati.
Dengan perasaan muak, aku terpaksa melakukan hal itu.
Setelah puas, Pak Huang memintaku berdiri.
Dengan kasar ia mencengkram pantatku yang masih tertutup celana dalam itu, dan
menariknya hingga posisiku membelakanginya. Ia menarik turun celana dalamku,
hingga kini tak ada lagi yang melindungi lubang kehormatanku. Pak Huang pun
berlutut di belakangku. Kini ia menguakkan bongkahan pantatku lebar-lebar.
Kini, lubang anus dan kemaluanku telah mengarah tepat di depan wajahnya.
Tiba-tiba aku merasakan sensasi hangat di
permukaan anusku. Ternyata Pak Huang telah menjilati anusku. Sensasi geli
kurasakan menjalar dari anus ke seluruh badan. Tubuhku terasa lemas setiap kali
lidah Pak Huang menyentuh permukaan anusku. Aku heran, dia tidak merasa jijik.
Setelah ia puas, lidahnya pun berpindah ke belahan lubang vaginaku.
Ia menguakkan bibir bagian luar vaginaku. Tak
lama kemudian, ia pun menjilati seluruh permukaannya. Klitorisku tak luput dari
jilatan dan gigitan lembutnya. Aku semakin pasrah dengan perlakuan Pak Huang.
Kurasakan vaginaku semakin basah, baik oleh air liur Pak Huang maupun cairan
cinta yang keluar dari dalam vaginaku.
“Ohhhhhh…. mphhhhhh…. ampuuunnnn…. jangan
diteruskannnnn….” racauku.
Slurp… slurppp… terdengar sedotan Pak Huang di permukaan vaginaku semakin
bernafsu.
Tak lama kemudian Pak Huang pun berdiri. Ia
menarik pinggulku ke belakang, hingga pantatku dan vaginaku semakin terkuak
lebar. Tiba-tiba, aku rasakan sebatang penis yag keras telah melesak masuk ke
dalam liang kenikmatanku dari bagian belakang. Aku merasakan pedih pada dinding
vaginaku saat batang penis Pak Huang bergesekan dengan dinding liang
kenikmatanku, yang selama ini terjaga dari penis pria selain suamiku.
“Ahhhhhhhhhhhhhhhhh…..” lengkinganku saat
penis Pak Huang disodokkan dengan keras.
Rasanya lubang vaginaku hampir terbelah.
“Ouhhhh….Angel….. memekmu enak banget… udah
lama bapak nggak ngrasain memek kaya punyamu… mhhhh… ouhhhhh…. akhhhhhh…..”
racau Pak Huang sambil menggenjot lubang memeku.
“Cepok, cepok, cepok…” suara pinggul Pak Huang saat bertumbukan dengan bongkahan
pantatku yang sedang membusung ke arahnya.
Aku sedang dinikmati dengan posisi doggy. Aku
heran, ia nampaknya memang begitu terobsesi dengan pantatku, hingga selama
memakaiku pun ia lebih banyak meremas pantatku daripada dua payudaraku.
“Ohhhh… mhhhh…. oughhhhh….” badanku
bergoncang-goncang.
Aku hanya mampu menggeleng dan mendongak ke atas. Payudaraku bergoyang seiring
hentakan penis Pak Huang di dalam liang kenikmatanku.
“Mmhhhhhh… ahhhhhh… mhhhhh….” rintih dan jeritku setiap kali penis Pak Huang
melesak dalam vaginaku.
“Angelllll…. memekmu masih serettttt…..” racau
Pak Huang.
“Bapak ketagihan diservis sama tempikmu….. enak bangetttt….. walaupun janda
tapi tempikmu masih nggigit”
“Mhhhh.. ouhhhhh…. akhhhhhhh….” jawabku dengan desah dan rintih.
Masih dalam posisi dogi, Pak Huang tiba-tiba
menarik penisnya keluar dari vaginaku. Kini tubuhku yang lemas hanya bisa
terbaring tengkurap diatas meja. Aku sandarkan di meja, sedang dua tanganku
terentang berpegang pada tepian meja. Sementara itu, aku merasakan cairan
dingin di anusku. Aku hanya bisa pasrah.
“Mmhhhh…. silitmu kayanya masih prawan nihh… sini, biar bapak prawanin”
Aku ketakutan, dan berusaha menolak.
“Udahhh, jangan nolak… kok beraninya kamu
nolak permintaan bapak…”
Akupun pasrah. Cairan itu adalah cairan pelumas. Aku merasakan kepala penis Pak
Huang mulai menempel di lubang matahariku. Perlahan-lahan, kepala penis itu
mulai menguakkan lubang matahariku. Kurasakan kepala penis itu semakin dalam
masuk ke dalam anusku. Rasanya sungguh perih, walaupun telah dibantu oleh
cairan pelumas itu. Pak Huang pun mulai mempercepat genjotannya dalam anusku.
“Akhhhhh….. ouhhhhh….” terasa panas di dinding
anusku akibat gesekan penis Pak Huang itu.
“Oouhhhhh…. sakkkkiiiiittt….. ahhhh.. akhhhhhh….” jeritku.
Sambil menggenjot anusku, kedua tangan Pak
Huang meremasi kedua payudaraku. Bahkan satu tangan Pak Huang menarik ujung
rambutku ke belakang, hingga kepalaku terdongak keatas.
“Mhhh ohhh… akhhhhh….” jeritku kesakitan.
Pak Huang nampaknya telah hampir klimaks.
Iapun segera menarik penisnya dari anusku. Seperti kesetanan ia melompat ke
atas meja lalu membalikkan tubuhku hingga terlentang di atas meja. Kini
posisinya duduk berlutut dengan penis yang mengarah ke wajahku. Dua pahanya
mengangkangi wajahku.
“Akhhhhhhhhhhhhhhh………..” teriakan Pak Huang yang telah klimak itu.
Crott……… crorttt…. crottttt….. cairan putih
kental yang berbau tak sedap itu pun menyembur ke wajah dan mulutku. Aku hanya
memejam, agar cairan itu tak masuk ke dalam mataku. Sebagian telah tertelan.
Mulutku basah berjimbuhan oleh cairan kental berbau amis itu, begitu pula baju
kurungku. Kulihat Pak Huang terengah-engah setelah mencapai klimaks. Aku hanya
terlentang lemas setelah satu jam ia menikmati semua lubang kepuasan di
tubuhku.
“Tempik sama silitmu memang hebat Gell… Bapak
ketagihan buat make kamu. Selama setahun bapak cuma bias ngremesin pantatmu,
sambil bermimpi suatu saat bisa njebol lubang silitmu….” kata Pak Huang.
Aku sebetulnya merasa tersinggung dengan
ucapannya. Harga diriku telah hilang sekarang. Kini aku harus siap untuk
dinikmatin kapan saja oleh Pak Huang. Aku tak bisa berbuat apa-apa kini.
Setelah beristirahat selama 30 menit, sambil
aku menangis sesenggukan, aku pun minta ijin kepada Pak Huang untuk
membersihkan diri di kamar mandi yang ada di ruangnya.
“Oohhhh, tidak usah… kamu kan capek sekarang saatnya kamu yang dilayani” kata
Pak Huang.
“Maksud bapak?” jawabku.
“Biar pak Muklis saja yang bersihkan tubuh Angel… heheheh”
Ouhhhh…. laki-laki gila… belum puas ia
menghancurkan kehormatan dan harga diriku.. kini aku harus rela dijamah oleh
satu pria lagi. Nampak Pak Huang menelpon dengan HPnya, menyuruh pak Muklis
masuk sambil membawa ember air hangat dan lap basah. Tak lama pak Muklis pun
masuk. Namun dengan baju kurung yang terbuka setengah, hingga payudaraku
menggelantung indah, dan bagian bawah yang telah telanjang bulat.
“Lhoooo, mbak Angel?” tanya pak Muklis
keheranan.
Aku hanya tertunduk malu, sementara aku tahu bahwa mata pak Muklis tidak lepas
memandang tubuh telanjangku.
“Tenang pak Muklis”, kata Pak Huang pada pak
Muklis.
“Mbak Angel barusan kerja keras, jadi dia sekarang gerah dan capek…. hehehehe…
makanya dia kepengen bersihin badannya. Kan kasian, daripada dia bersihin
badannya sendiri, kan lebih baik diladenin sama pak Muklis… hehehh…”
“Maksud bapak?” tanya pak Muklis masih
kebingungan.
“Maksudnya ya tolong pak Muklis ngelapin tubuhnya mbak Angel, terutama bagian
lubang tempik sama silitnya itu. Gimana pak Muklis?”
“Haaaaa, bapak beneran?” tanya pak Muklis
tidak percaya.
“Beneran… sudah, nggak usah banyak omong… bapak mau ga?” tanya Pak Huang.
“Mauuu… mau… iya pak… mau….” sorak pak Muklis.
“Ya udah sana…” Pak Huang menyahut.
“Ayoooo, sini mbak Angel… cah ayuuu…. biar bapak ngelapin tempikmu” seru pak
Muklis kegirangan.
Aku hanya menunduk. Tapi badanku sudah terlalu
lemah, sehingga aku hanya bisa pasrah saat pak Muklis menggandengku menuju
kamar mandi. Ia pun melucuti seluruh sisa pakaianku, sehingga aku telanjang
bulat. Dengan lap basah, ia ia mulai membasuh tubuhku dari ujung kepala hingga
ujung kaki. Saat menggosok liang vaginaku, ia pun berkomentar..
”Wahhhh, tempiknya mbak Angel ini masih sempit
yah” sambil jarinya meyentil-nyentil klitorisku.
“Beda sama tempiknya lonte lokalisasi.. udah pada lower”
Aku hanya terdiam sambil menahan tangisanku.
Pak Muklis memelukku dari belakang. Satu tangannya meremasi payudaraku, sedang
tangan lainya sibuk menggosok vaginaku.
“Mbak, yang bagian dalem tempik mbak belum
dibersihkan, biar kontol bapak nanti yang gosokin bagian dalem tempiknya mbak…
hahahaha”, kata pak Muklis.
Pak Huang berdiri di pintu kamar mandi
senyum-senyum melihat ulah pak Muklis kepadaku.
“Kontol bapak udah ngaceng niyy. Wahhh… mimpi apa bapak semalem.. selama ini
bapak cuma mbayangin ngentu mbak Angel… impian bapak jadi kenyataan”
“Pak Muklis, ini uang buat pak Muklis” Pak
Huang mengeluarkan uang seratus ribuan dan diberikan pada pak Muklis.
“Syaratnya, pak Muklis harus tutup mulut
tentang rahasia di kantor ini… ya, sekarang, pak Muklis boleh nikmatin mbak
Angel sepuasnya.
“Siap bossss” kata pak Muklis.
Pak Muklis mendorongku ke sofa di ruang Pak
Huang. Tanpa basa-basi ia pun mengeluarkan penisnya yang berukuran 17 cm.
Dengan kasar ia menarik kepalaku mengarah ke penisnya.
“Ayo,dimut mbak… kontolnya bapak sudah lama
nggak dibasahin nih…” kata pak Muklis disambut dengan tawa Pak Huang.
Tanpa aku sadar, Pak Huang telah datang dengan membawa sebuah handicam untuk
merekam persetubuhanku dengan pak Muklis.
“Hehehe, kamu memang cocok jadi bintang bokep,
hehehehe…”
“Mhhhh… oukhhhhh……” kepalaku itu maju mundur mengulum penis pak Muklis yang
keras.
Laki-laki duda berusia 50 tahun itu nampak
merem melek menikmati kulumanku. Ia duduk di sofa, sedangkan aku kini tersimpuh
di lantai ruang itu.
“Ohhh… mbak Angel… ohhhh… kuluman mbak lebih enak dari lonte pelabuhan hhhhhh…
mhhhh..”
Setelah puas dengan mulutku, pak Muklis
menyuruhku untuk terlentang di sofa. Dengan rakus, ia pun mengulumi payudaraku,
dan menggigit-ggit putingnya yang mungil kecoklatan itu…
“Owhhhh… mhhhh… pak Muklis…. sakkkittttt….”
Pak Muklis semakin liar, mengulum putingku.
Satu tangannya memilin-milin payudaraku yang lain, sedang tangan satunya lagi
memainkan klitorisnya. Kini aku merasakan kegelian, kurasakan jari-jari pak
Muklis menusuk-nusuk liang vaginaku.
Pak Muklis kemudian melebarkan kedua pahaku dan
blessssssssssssssssss…. penis pak Muklis pun terjepit dalam liang nikmatku.
Tubuhku terguncang-guncang, sementara tangan pak Muklis sibuk memilin-milin
putingku.
”Oohhhh, mbak Angel…. tempikmu enak banget…..
bapak belum pernah ngrasain tempik kaya punya mbak Angel…”
Tiba-tiba pak Muklis menghentikan genjotannya,
dan menarik penisnya. Ia membalik tubuhku hingga tengkurap, lalu menyuruhku
menungging. Aku hanya pasrah mengikuti arahan pak Muklis.
Dalam posisi menungging, sekali lagi pak
Muklis menyodokkan penisnya dalam liang nikmatku. Dengan sodokan-sodokanya yang
keras, tubuhku pun terguncang-guncang. Tangannya meremasi payudaraku dan
sesekali menampar paha dan pantatku hingga terasa pedih. Aku diperlakukannya
seperti seekor kuda tunggangan atau sebuah boneka seks. Aku hanya bisa pasrah
menerima perlakuan itu.
“Mhhhh,… tempik lonte ternyata enak…
mhhhh…ouhhhh” racau pak Muklis saat penisnya terjepit dalam liang kenikmatan.
Pak Muklis yang telah lama menduda, dan selama
ini memuaskan hasrat seksnya dengan pelacur pelabuhan, yang tentu saja tua-tua
dan tidak higienis. Kini penis pak Muklis berkesempatan untuk menikmati liang
vagina seorang wanita muda, yang liang vaginanya selalu terjaga dan terawat.
Bahkan pria kaya dan tampan pun belum tentu kuijinkan untuk bisa menjepitkan
penisnya dalam lubang vaginaku, kecuali menikahiku, namun kini, seorang pesuruh
kantor yang tua malah berkesempatan menikmati liang vagina miliku dengan
gratis… ohhhhh… nasibku….
Bukan hanya liang vaginaku, penis pak Muklis
pun kini telah merasakan pula jepitan lubang anusku. Kali ini tidak terlalu
sakit… justru anehnya, akupun mulai menikmati permainan pak Muklis.
Pak Muklis menarik penisnya, lalu menarik
kepalaku mendekat kearah penisnya. Tangan satunya sedikit mencekik leherku,
sehingga mulutku terbuka, dan
“Akhhhhhh….” teriakan pak Muklis saat orgasme.
Crotttt… croootttttt… croottttt…. cairan putih
hangat masuk seluruhnya ke mulutku. Bukan hanya itu, pak Muklis pun menyuruhku
untuk menelan semua spermanya.
Hueekkkkkkk…. rasanya muak sekali. Namun aku
terpaksa nampak sisa-sisa sperma mengalir dari sela-sela bibirku. Sisa-sisa
sperma yang ada di lantai dan sofa pun harus kujilati pula.
Semua adegan itu direkam oleh Pak Huang. Pak
Huang mengancam, jika aku melaporkan kejadian ini pada polisi, atau tidak mau
menuruti kehendaknya, maka video itu akan tersebar. Kejadian di kantor saat itu
barulah sebuah awal penderitaanku. Pak Huang ternyata menjualku pada para pria
hidung belang, bukan sekedar untuk membayar hutangku, namun juga untuk membiayai
bironya yang hampir bangkrut itu.
Banyak bos-bos yang rela merogoh koceknya
dalam-dalam untuk diberikan pada Pak Huang, demi memperoleh kesempatan
menjepitkan penisnya ke dalam liang vagina dan anusku. Aku heran, beberapa
orang yang memakaiku justru lebih suka menganalku disamping menyodok vaginaku.
Ramuan keluarga yang aku gunakan membuat
lubang anusku selalu sempit, bersih dan tidak berbau busuk. Bahkan lebih
‘menggigit’.
Bahkan Pak Huang pernah sekedar iseng
mengumpankanku pada sekelompok supir truk yang sedang mabuk, sehinga aku
disetubuhi beramai-ramai di atas bak truk. Dia memasangiku kamera kecil,
sehingga ia bisa merekamnya dari mobilnya yang parkir di suatu tempat.
0 komentar:
Posting Komentar