Diajarin Sex Oleh Mbak Titin - Pak Abdul
berjalan tanpa sandal, sesekali tangannya mengangkat sarung kotak-kotak yang
dipakai. Lelaki 55 tahun itu nampak tergesa menuju perbatasan hutan di kampung,
lokasinya cukup jauh dari pemukiman warga.
“Waduh.. maaf
sekali pak, saya agak telat menyambut. Tadi ada warga yang anaknya mau kawinan
jadi saya urus sana-sini dulu,” Abdul menyalami Pak Supri, tuan tanah di
kampung itu yang sudah sejak lama tinggal di kota.
Pak Supri
terkenal dermawan di dusun itu, banyak membantu pembangunan tempat ibadah,
sekolah rakyat, dan juga memberi sembako saat masa sulit melanda desa.
“Walah ya
ndak apa-apa pak Abdul, biasa saja. Oh ya ini Andi Pak Abdul masih ingatkan..
sudah kelas 3 SMA sekarang.. dan ini kawan-kawannya. Nah mereka saya antar ke
dusun ini biar tahu kehidupan desa, mumpung mereka masih libur,” kata Supri,
lelaki tambun, usianya sekitar 53 tahun
“Wah.. wah
den Andi sudah gede sekarang.. pangling saya den,” Abdul menyalami Andi dan
tiga kawan sebayanya, Hilman, Roni, dan Raju.
Pak Supri lalu menjelaskan pada Andi dan kawan-kawannya tentang Abdul, Abdul yang sangat rajin dan santun yang patut jadi panutan. download bokep gratis Ia juga menjelaskan pada Abdul bahwa Andi, anaknya akan berada di dusun itu selama sepekan bersama tiga temannya itu, harapannya agar mereka tahu tentang kehidupan desa dan menghargai orang desa.
“Saya hanya
minta mereka dibolehkan mendirikan perkemahan di sini, tolong pak Abdul
gembleng mereka untuk mandiri. Soal kebutuhan makan biar mereka upayakan
sendiri, ya mencari ikan, mancing di kali, nyari sayuran, sampai masaknya
jangan dibantu biar nggak manja. Nanti berasnya saja disediakan,” kata pak
Supri.
Andi dan
kawan-kawannya mencari tempat datar mendirikan tenda, dan mulai menyiapkan
semua peralatan kamping. Pak Supri lalu meninggalkan anaknya itu dan kembali ke
kota. Dua buah tenda berukuran 3 kali 3 meter berdiri saat menjelang petang,
Abdul Abdul ikut membantu anak-anak kota itu, sampai semua beres. Abdul lalu
mengajak anak-anak itu mampir ke rumahnya di pemukiman dusun. Di sana ia
menjelaskan lokasi sungai di dalam hutan yang bisa dipancing ikannya, juga
lokasi kebun sayur miliknya di tumpangsari hutan yang boleh mereka petik.
Malam itu
Andi dan teman-temannya menginap di rumah Abdul dan berkenalan dengan remaja
sebaya mereka di dusun itu. Tapi, Abdul meminta remaja kampung untuk tidak
membantu apapun pada anak-anak kota itu selama kamping agar mereka mandiri
sesuai pesan pak Supri.
Pagi-pagi
benar Andi dan tiga temannya kembali menuju perbatasan hutan tempat tenda
mereka berdiri, mereka membawa beberapa kilogram beras dan perabotan
masak-memasak dari rumah Abdul Abdul.
“Ya elah..
benar-benar welcome to the jungle nih ndi.. elo sih pake nurut segala sama
bokap lo itu. Harusnya kita liburan ke Bali.. eh malah jadi tarzan disini.. huh
capek deh,” Hilman mengeluh sejadinya sambil melempar panci yang dibawa. “Iya
nih.. mana perut keroncongan lagi nih,” Raju menimpali. Raju bertubuh tambun
dan doyan makan. “Udah deh.. mendingan kita cari cara gimana biar ada lauk
untuk makan… mana belanja nggak bisa. Ada uang tapi orang desa nggak mau
menjual apa-apa pada kita karena perintah bokap gue. Ayo deh Raj.. cari ranting
atau apa kek yang bisa dibakar untuk masak,” kata Andi.
Keadaan
terpaksa membuat mereka bergerak juga, daripada lapar. Tungku disiapkan dari
susunan batu, dan blar.. api pun menyala menanak nasi di panci. Untung Raju membawa
bekal beberapa bungkus mie instant yang bisa menjadi lauknya. “Tuh kan enak
juga ternyata jadi tarzan begini.. ha ha..,” Andi menghibur teman-temannya itu.
“Enak.. tapi gue nggak kenyang nih makan segini,” gerutu Raju.
Biasanya dia
makan dua piring, dobel porsi, tapi sekarang hanya dapat satu porsi. Setelah
sarapan keempat remaja itu menuju sungai untuk mandi dan mencuci pakaian. Tapi
sebelum mereka meninggalkan tenda, Abdul datang bersama Titin, anak
perempuannya.
“Lho aden
pada mau kemana? Sudah pada sarapan belum?,” tanya Abdul.
Ia lalu
mengenalkan Titin pada 4 remaja itu. Titin anak pertama Abdul sudah empat tahun
ini menjanda ditinggal mati suaminya kecelakaan, belum punya anak. “Malam
kemarin Titin belum sempat ketemu kalian karena dia membantu acara warga yang
mau kawinan. Nah sekarang untuk urusan masak dan makan biar Titin yang membantu
ya.. ndak apa-apa, bapak nggak akan bilang ke juragan Supri kok..,” Abdul
merasa iba juga melihat Andi dan teman-temannya harus berusaha masak sendiri.
Lagipula di rumah Titin tidak terlalu banyak pekerjaan, karena kembali numpang
di rumah ortunya.
“Waduh.. jadi
ngeropotin mbak Titin nih. Tapi oke deh pak, dari pada bobot saya susut
seminggu di sini.. ha..ha,” Raju senang karena kebutuhan makan bakal terjamin.
“Iya. Nggak apa-apa dik, mbak biasa masak dan nyuci kok,” kata Titin. Titin
berpenampilan khas wanita desa, pakai kain dan baju berkancing dari kain bahan
kebaya. Wajahnya cantik dan sebagai janda yang masih muda tubuhnya juga semakin
subur dan semok. Tingginya 165 cm dengan porsi tubuh yang ideal, sedikit
montok. Payudaranya membusung menantang, pinggul lebar dan pantatnya padat
terbentuk dibalik kain yang dipakainya.
Hilman dan
Roni tak lepas memandangi postur tubuh Titin saat itu. Andi juga kadang mencuri
pandang ke dada Titin. Hanya Raju yang pikirannya makan terus. Abdul kemudian
pamit pulang . Titin kemudian mengantar Andi dan teman-temannya ke sungai
sambil membawa pakaian empat remaja itu yang akan dicuci. 4 remaja itu langsung
mencebur ke sungai dengan riang. Usia mereka rata-rata baru 17 tahun, tapi
badannya bongsor tidak seperti anak di desa. Tinggi mereka melebihi tinggi
Titin .
“Eh..
adik-adik ini mandinya dicopot dong bajunya biar sekalian mbak Titin cucikan,”
katanya melihat Andi dan kawan-kawannya mencebur tanpa melepas pakaian. “Wah..
telanjang pakai kolor aja nggak apa-apa kan mbak? Kan sepi disini?,” Hilman
menyahut senang sambil melepas baju dan celananya. Tiga lainnya juga melepas
pakaiannya.
“Ya ndak apa,
wong nggak ada yang lihat di tengah hutan gini. Lagi pula warga desa jarang ke
sini karena sungai ini di kawasan hutan, mereka lebih dekat ke sungai di desa,”
kata Titin, ia memungiuti baju empat remaja itu di batu dan mulai mencuci di
temat berjarak empat meter dari lokasi mandi mereka. 4 remaja itu mandi sambil
gembira saling siram, Titin memperhatikannya dengan gembira juga, ia ikut
senang melihatnya. “Mbak Titin… mbak ikutan mandi dong.. biar rame..,” teriak
Hilman polos.
Seketika Raju
berlari mendekati Titin yang masih jongkok mencuci dan mendorongnya terceur ke
sungai. Byurr.. tubuh Titin tenggelam di sungai yang cukup dalam, saat tubuhnya
naik kancing baju atasnya terlepas sehingga payudaranya yang tidak tertutup BH
sempat terlihat. “Aduhhh Raju.. kamu nakal ya..,” Titin bersungut-sungut sambil
membenahi bajunya.
Raju ikut
mencebur dan mulai menyirami Titin dengan air, mereka tertawa dan saling siram.
Andi, Hilman dan Roni kemudian bergabung mendekat dan ikut saling siram. Titin
protes karena kain dan bajunya basah terendam bersama tubuhnya. Sebab dia tidak
membawa baju lain, masak pulang dengan basah kuyup. “Ya sudah mbak Titin
bajunya dibuka aja, terus dijemur,”kata Hilman mejawab protes Titin. “Iya mbak.
Bajunya dijemur aja biar kering, jadi pas selesai mandi bisa dipakai
lagi,”tambah Andi.
Titin berpikir sejenak. Benar juga usul mereka, lagipula meski telanjang tubuhnya tak mungkin terlihat karena terendam di sungai, kebetulan sungai juga agak keruh karena hujan kemarin. “Ini tolong dijemurkan dik Andi..,” nonton bokep online Titin menyodorkan kain dan bajunya ke Andi agar Andi menjemurnya di bebatuan. “Ya sudah kalian teruskan mandinya.. mbak sambil nyuci ya,” kata Titin
Sambil
berendam badan sebatas bawah leher, Titin melanjutkan mencuci pakaian dengan
hanya tangannya di atas batu sisi sungai. Sementara empat remaja itu kembali
saling siram, bernyanyi dan berteriak-teriak gembira menikmati dinginnya air
sungai dengan jarak menjauh dari Titin karena tak ingin mengganggunya.
Hilman menoleh
Titin yang membelakangi mereka, pikirannya tiba-tiba teringat film porno milik
ayahnya yang pernah ditontonnya dengan curi-curi. Selama ini ia hanya bisa
membayangkan bagaimana bentuk tubuh wanita bugil yang dilihat secara langsung.
Ia mulai membayangkan tubuh telanjang Titin di balik air sungai. “Hey bro..
gimana ya bentuk susu dan mekinya cewek yang asli? Gue penasaran nih..? gimana
kalau kita minta mbak Titin liatin dikiiiit aja,” pikiran Hilman yang mulai
nakal disalurkan ke teman-temannya.
Roni setuju,
tapi Andi dan Raju masih bertahan melarang, mereka takut Titin melaporkan ke
bokap Andi dan Abdul ayah Titin. Akhirnya mereka memutuskan membuat strategi.
Andi, Raju dan Roni kemudian berenang menjauh, cukup jauh dari posisi Titin
yang msih sibuk mencuci, sementara Hilman menjalankan aksinya. “masih lama
nyucinya mbak…,” sapa Hilman dari belakang Titin.
“Eh dik
Hilman ngaggetin aja. Ini celana kalian kok kotor banget sih, jadi lama
nyikatnya,” Titin sempat terkejut melihat kehadiran Hilman. “Sini saya bantuin
mbak,” Hilman meraih tangan Titin di batu sisi sungai. “Ah nggak usah dik..
kamu mandi saja sana, nanti saya dimarahi bapak. Kan saya disuruh membantu
kalian,” Titin berusaha menahan tangan Hilman yang hendak mengambil sikat dan
celana panjang Raju yang dicuci Titin.
Mereka sempat
saling rebut, dan hal ini membuat tubuh Hilman menyentuh tubuh Titin yang
sama-sama telanjang. Titin merasakan getaran saat siku Hilman menyengol
susunya, ia baru sadar kalau keadaannya sedang bugil.
“Uh.. maaf ya mbak.. nonton bokep online saya nggak sengaja, kena deh itunya,” Hilman pura-pura malu, tapi tubuhnya tidak menjauh dari Titin. Titin mendadak tersipu malu. “Eh.. oh.. nggak apa dik.., asal jangan disengaja ya. Ndak baik itu,” kata Titin seolah menTitinati. “Eng.. mbak.. saya boleh tanya, tapi jangan marah ya?,” kata Hilman. “Tanya apa sih?,” jawab Titin sambil berbalik membelakangi Hilman dan kembali sibuk menyikat celana yang dicucinya. “Anu mbak.. apa kira-kira anunya cewek di desa sama dengan cewek kota ya?,” Hilman melanjutkan dengan ragu-ragu. “Ih dik Hilman ini. Anunya apanya? Susunya maksud adik?,” Titin berbalik lagi menghadap Hilman.
Hilman malu
sambil mengangguk. “Ya sama saja dong dik.. anunya dik Hilman juga sama saja
dengan remaja di desa sini kan?,” jawab Titin. Diam-diam Titin merasa lucu juga
mendengar pertanyaan itu. “Eh.. anu mbak.. maksud saya…,” “Hayo.. dik Hilman
pernah ngintip cewek di kota mandi ya?,” kelakar Titin membuat Hilman salah
tingkah dan semakin malu. Tapi ia merasakan pancingannya sudah mulai mengena
pada Titin. “Ah.. nggak kok mbak. Saya malah belum pernah lihat cewek telanjang
sekalipun, hanya pernah di pelajaran biologi liat gambarnya aja. Makanya
penasaran mbak..,” aku Hilman.
Mendengar itu
Titin jadi iba pada Hilman. Di desanya rata-rata remaja pria sudah semua pernah
melihat payudara wanita secara langsung, meskipun hanya wanita setengah baya
yang sedang mandi di sungai. Ia lalu berpikir memperlihatkan susunya kepada
Hilman untuk mengobati penasaran anak kota itu. Lagi pula ia kan bukan gadis lagi,
dan selama empat remaja itu di dusunnya ia diminta Abdul ayahnya membantu
mereka mengenali lingkungan dan kehidupan desa.
“Ya sudah..
kalau mbak liatin susu mbak gimana?,” tanya Titin.
“Ehhhmm.. mau
mbak.. tapi mbak nggak marah kan?,” kata Hilman senang.
Titin
tersenyum dan beranjak ke sisi sungai yang lebih dangkal agar tubuh atasnya
terentas, ia kemudian berdiri bersandar di batu sisi sungai. Mata Hilman
seperti tak percaya melihat susu montok Titin terpampang di hadapannya, kental
dan berwarna putih langsat dengan puting coklat muda.
“Tuh sudah
liat kan.. sudah ya,” kata Titin.
“Tu..tunggu
bentar mbak…, emhh boleh dipegang ya mbak.. bentaaar aja.. ya.. boleh ya,”
rengek Hilman, tangannya lalu menyentuh perlahan susu Titin mulai dari
pangkalnya diraba hingga puting susunya dijepit ringan dua jari. “Hmm..
gimana.. sudah ya dik.., sama saja kan dengan di gambar?,” Titin merasa
merinding disentuh susunya, sebab selama empat tahun ini ia tidak pernah lagi
merasakannya sejak ditinggal mati suami.
Mata Titin
mengawasi teman-teman Hilman lainnya, jangan-jangan yang sedang terjadi
terlihat oleh mereka. Tapi ia lega, tiga teman Hilman cukup jauh dan terhalang
pandangannya dengan batu di tengah sungai. Saat Titin terlihat sibuk mengawasi
temannya, Hilman menggunakan kesempatan itu, ia semakin nekat meremasi susu
Titin. “Mbak.. kenyalnya enak ya..,” katanya sambil terus memijati putting
Titin. “Enghhmm.. sudah ah dikhh.., sudah ya,” pinta Titin sambil menepis
tangan Hilman.
Tapi Hilman masih
saja meremasi susu Titin. “Eh mbak.. kok begitu megang susu mbak.. burung saya
bangun sih?,” Hilman bertanya kekanak-kanakan sambil terus meremasi Titin.
Titin kembali merasa lucu dengan pertanyaan Hilman, namun mendengar kata burung
mebuat pikiran Titin tak karuan dan merindukan melihat burung suaminya. Tadinya
ia berpikir empat remaja ini masih sangat kanak-kanak tapi mendengar Hilman
mengaku burungnya berdiri Titin jadi penasaran juga, sebesart apa sih burung
anak usia belasan ini. “”Apa.. emang burung dik Hilman bangun sekarang?,” tanya
Titin.
“Iya mbak..
nggak tau nih kenapa.., nih mbak pegang coba,” Hilman segera menuntun tangan
Titin ke penisnya yang terbungkus kolor. Titin merasakan nafasnya memberat saat
tanganya menyentuh penis Hilman. Remaja ini besar dan atletis dibanding usianya
yang masih belia. Penisnya juga sudah sebesar penis pria dewasa umumnya. “Tuh
kan mbak.. bangun.. kenapa ya mbak?,” rengek Hilman.
“Emhh.. oh..
ini wajar dik.. normal. Kan di pelajaran biologi juga adik sudah tahu..,” kata
Titin. Sambil tangannya terus mengusapi penis Hilman, Titin seolah menggurui
menjelaskan kalau penis pria berdiri karena terangsang apalagi jika menyentuh
vital wanita. “Sini dik.. nah kalau diginiin rasanya gimana?,” Titin
menyusupkan tangannya ke balik CD Hilman dan mulai mengocok pelan penis Hilman.
“Aduhh.. mbaakkhh enakhh..,”lenguh Hilman. “Itu wajar dik.. nanti kalau sudah
kawin baru deh dik Hilman rasain enaknya. Karena kalau sudah punya istri,
burungnya dik Hilman bisa bersarang di sarangnya,” kata Titin.
Ia tak sadar
penjelasannya justru membuat pertanyaan-pertanyaan menyusul yang menuntut dari
Hilman. “Sarangnya apa tuh mbak.., enghh.. terusin digituin mbak.. enakhh
nih..,” Hilman merasa penisnya sudah sangat tegang, tangannya terus meremasi
susu Titin. Nafas Titin mulai menyesak.. ia membayangkan penis itu penis
suaminya yang sudah siap mengantar kenikmatan padanya. “Hhh.mmmm.. sarangnya
namanya memek dik.. seperti punya mbak ini..sini dik Hilman pegang ya..,” Titin
menuntut tangan kanan Hilman ke selangkangannya.
Hilman bisa
merasakan lembutnya permukaan vagina Titin. “Wah.. lembut sekali ya mbakhh..
kalau dipegangin gini mbak merasa enak juga nggak kayak saya,” Hilman terus
melancarkan tanya, sambil tangannya mulai membelai-belai permukaan vagina
Titin. Titin sedikit mengangkangkan kakinya memberi ruang bagi tangan Hilman.
“Ngghhh.. sstt.. yahh enakhh dikhh.., sama enaknya..,” tubuh Titin mulai
menggelinjang dipermainkan gatal dan geli di vaginanya. “Terus gimana
selesainya mbak.. kalau burung saya bersarang di sarangnya nanti?,” Hilman
terus bertanya penasaran, pikirannya sudah melayang ke film porno yang pernah
ditontonnya.
Penisnya
kenikmatan karena tangan Titin semakin liar mengocoknya. “Emmhh.. kalau sudah
masuk ke sarangnya.. nanti burung dik Hilman bisa loncat-loncat di dalam..
teruss kalau mau selesai dia nyemprotin air..,” Titin semakin terangsang dengan
pertanyaan Hilman, CD Hilman dilorotkanya dan penis Hilman dikocok semakin
cepat. “Ahh..sst.. geli banget mbakhh… auh.. kayak mau kencing nih.. ouh…,
mbaakhh enak juga khan..?,” Hilman melenguh merasakan kedutan di penisnya.
Ekspresi
kenikmatan Hilman membuat Titin semakin teransang, apalagi tangan Hilman juga
semakin aktif mengosok permukaan vaginanya. “Iya dik.. sstt enakhh juga
mbakkhhh.. ahhkkss.. keluarin aja kencingnya nggak usah ditahan,” Titin
merasakan tubuh Hilman mulai menegang dan croottt… semburan sperma Hilman
muncrat ditangannya. Titin sudah terbakar birahi, pingulnya bergoyang agar
lebih merasakan gosokan tangan Hilman di vaginanya. Tapi sebelum ia klimaks,
Titin mendengar suara teman-teman Hilman mendekat. Ia segera menyudahi aksinya
dan kembali beranjak ke sungai yang lebih dalam agar tubuhnya terbenam lagi.
“Eh..mbak
makTitin ya sudah ngajari saya.., jangan bilang ke yang lain mbak ya,” Hilman
malu-malu menghampiri Titin kemudian ia naik ke bibir sungai dan bersalin
pakaian. Titin mengangguk, ia sendiri sangat malu menyadari apa yang barusan
terjadi. Tapi klimaks yang belum sempat diraih membuat pikiran Titin jadi tak
karuan saat itu. Andi, Raju, dan Roni sudah berkumpul bersama Hilman dan sudah
bersalin pakaian. Titin menyuruh mereka ke tenda duluan meninggalkanya, agar
tak terlihat saat ia harus naik ke bibir sungai untuk kembali mengenakan kain
dan bajunya.
0 komentar:
Posting Komentar